Ketika Kesehatan Mental Tidak Lagi Tabu dalam Sepak Bola

Yusuf AbdillahYusuf Abdillah - Kamis, 10 Oktober 2019
Ketika Kesehatan Mental Tidak Lagi Tabu dalam Sepak Bola
Danny Rose (zimbio)

BolaSkor.com - Olahraga pada dasarnya membutuhkan keegoisan dan keinginan kuat untuk menang. Atlet, tidak terkucuali pemain sepak bola, top selalu bersaing dengan mengetahui mereka harus membuat lawan gagal untuk menjadi pemenang.

Ambisi menjadi untuk keluar sebagai pemenang, dikombinasikan dengan tekanan publik bisa berpengaruh pada kondisi kejiwaan. Publik sendiri menganggap para atlet adalah manusia super yang bisa mengatasi segala masalah. Alhasil, membicarakan kesehatan mental menjadi tabu. Banyak contoh tragedi yang menimpa pemain sepak bola terkait erat dengan kesehatan mental. Sebut saja dengan tragedi kematian Robert Enke atau Gary Speed. Keduanya mengakhiri hidup mereka karena menderita depresi.

Baca Juga:

Mengenang Tragedi Robert Enke dan Pentingnya Menjaga Kesehatan Mental

Terpaut Dua Poin dari Zona Degradasi, Man United Dihantui Masa Lalu Kelam di Tahun 1974

Saat ini semakin banyak pemain membuka diri tentang perlunya perubahan budaya. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, striker Burton Albion, Marvin Sordell menjelaskan masalah yang dihadapi pemain.

Pemain berusia 27 tahun itu mengakui para pemain sejatinya membutuhkan bantuan dalam hal kesehatan mental. Sordell juga meminta klub untuk mempekerjakan konselor untuk mengelola keadaan emosi pemain.

Hal senada disampaikan pemain Tottenham Hotspur Danny Rose. Bek timnas Inggris itu merupakan salah satu pemain pertama yang secara terbuka mengangkat masalah mental yang dialaminya. Rose mengakui bahwa dirinya didiagnosis menderita depresi.

Mulai bermunculannya pemain papan atas yang mau secara terbuka membirakan masalah kesehatan mental ini disambut baik oleh Tim Stoodley, pendiri Mind Kicks, sebuah organisasi yang menggunakan profil figur publik berbicara tentang kesehatan mental mereka secara bebas dan nyaman. Selama ini para pemain dengan lancar bisa bicara soal cedera yang dideritanya, namun tidak untuk yang terkait kesehatan mental.

Stoodley menilai tren ini sangat positif, terutama untuk mengubah cara pandang fans sepak bola terhadap kesehatan mental.

"Pada akhirnya kami mencoba menggunakan status ketenaran pesepak bola dan klub untuk mencoba membuat penggemar menyadari bahwa orang-orang yang mereka idolakan adalah manusia biasa. Mereka juga bisa alami gangguan kesehatan mental," ujar Stoodley dikutip Joe.co.uk.

"Jika seorang pemain patah kakinya, semua orang akan tahu apa yang harus dikatakan dan apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu, tetapi jika kesehatan mental, mereka tidak tahu harus berkata apa. Itulah yang ingin kita usahakan untuk berubah."

Jumlah Pemain yang Cari Bantuan Meningkat

Setahun lalu, English Football League (EFL) mengumumkan bahwa mereka telah mencapai kesepakatan dua tahun badan sosial yang bergerak di kesehatan mental. Tidak hanya itu Asosiasi Pesepak bola Profesional (PFA) juga membuat langkah dengan menyiapkan saluran bantuan 24 jam untuk para pemain yang membutuhkan bantuan.

Pada Mei 2019, BBC melansir bahwa PFA melaporkan jumlah pemain yang mencari bantuan untuk masalah kesehatan mental mencapai titik tertinggi. Direktur bidang kesejahteraan pemain PFA, Michael Bennett mengungkap jumlah yang diterima bisa mencapai tiga kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Dalam laporan PFA, pada Januari 2019 tercatat 355 pemain profesional yang mengikuti terapi. Bandingkan dengan 438 yang tercatat sepanjang tahun 2018.

Masa-masa pramusim disebutkan menjadi periode saat para pemain mulai merasakan tekanan yang berpotensi menjadi depresi. Saat itulah para pemain mulai memikirkan kontrak, masa depannya, dan hal lain yang menguras emosi, terutama bagi pemain muda.

Olu Maintain (bbc)

"Saya menjadi gila. Karena semula saya berpikir sudah berhasil. Saya berlatih bersama tim utama meski tidak pernah bermain di level muda. Saya menghabiskan hidup di satu tempat. Bagaimana bisa berharap saya siap secara mental," ujar Olu Maintain.

Maintain adalah seorang penyanyi dan penulis lagu yang dulu memiliki impian menjadi bintang Premier League. Setelah sepuluh tahun hanya mengenal sepak bola, Maintain dilepas oleh klubnya saat usia 18 tahun.

"Saya habiskan hidup di sepak bola. Saya tidak bisa menerima kenyataan ini. Di situlah hidup saya mulai tidak terkendali. Depresi, gangguan mental yang saya alami berawal dari itu," papar Maintain.

Dunia sepak bola sejatinya dalah bagian dari kehidupan. Para pemain juga tidak kebal dari masalah kesehatan mental. Dengan kondisi dimana kesehatan mental tidak lagi tabu diharapkan tidak ada lagi pemain yang berakhir tragis macam Gary Speed atau Robert Enke yang memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri karena menderita depresi.

Premier League Lampu Kuning Oktober
Ditulis Oleh

Yusuf Abdillah

Posts

6.069

Bagikan