Nostalgia Piala Dunia: Drama, Tangisan, dan Keheningan di Maracana pada 1950

Arief HadiArief Hadi - Minggu, 16 Oktober 2022
Nostalgia Piala Dunia: Drama, Tangisan, dan Keheningan di Maracana pada 1950
Piala Dunia 1950 (Laman Resmi FIFA)

BolaSkor.com - Ketika berbicara mengenai sepak bola Amerika Selatan dan persaingan mereka di level dunia, dalam hal ini Piala Dunia, pembicaraan publik tidak jauh dari dua negara yakni Argentina dan Brasil.

Tidak salah karena keduanya pernah menjadi juara dunia, Argentina sekali dan Brasil sampai saat ini (sejak 2002) masih jadi penilik trofi terbanyak dengan koleksi lima trofi. Tetapi ketika berbicara negara Amerika Selatan jangan dilupakan satu negara lagi yaitu Uruguay.

Dalam sejarahnya sudah lima kali Uruguay mencapai empat besar atau semifinal Piala Dunia, dengan catatan terakhir terjadi pada 2010 di Afrika Selatan. Dari momen itu publik dapat melihat Uruguay sudah punya DNA kala mentas di Piala Dunia, tidak kalah dari Argentina atau Brasil.

Momen emas mereka terjadi pada medio 1930-an hingga 1950-an. Pada periode itu Uruguay menjadi juara dunia, pertama pada 1930 di edisi pertama Piala Dunia kala mereka jadi tuan rumah dan menang 4-2 atas Argentina di Estadio Centenario, Montevidio.

Baca Juga:

Nostalgia Piala Dunia: Epilog Pahlawan Brasil Berkaki Bengkok dan Panjang Sebelah, Garrincha

Nostalgia Piala Dunia: Mengenang Kiprah Pelatih Tersukses, Vittorio Pozzo

Nostalgia Piala Dunia: Tiang Pancang Prestasi Jerman yang Dimulai pada 1954

Lalu yang kedua lebih spesial lagi: menang di ranah Brasil ketika mereka jadi tuan rumah di Piala Dunia 1950. Itu jadi ajang Piala Dunia pertama yang kembali diadakan setelah absen di dua periode, 1942 dan 1946 karena Perang Dunia II.

Maracanazo

Maracanazo adalah tema yang merangkum keseluruhan pertandingan di final Piala Dunia 1950, yang jika diartikan secara harafiah bermakna pukulan telak di Maracana, yang notabene nama stadion final yang berlokasi di Ibu Kota Brasil, Rio de Janeiro. Apa yang terjadi kala itu?

Merangkum sekilas perjalanan Brasil dan Uruguay hingga mencapai fase final, Brasil lolos dari putaran pertama grup 1 yang berisikan Yugoslavia, Swiss, dan Meksiko sebagai pemuncak klasemen. Uruguay juga lolos sebagai pemuncak klasemen grup 4 di atas Bolivia (belum banyak negara berpatisipasi kala itu).

Uruguay dan Brasil dipersatukan di putaran terakhir dengan format grup bersama Swedia dan Spanyol. Uruguay imbang lawan Spanyol dan menang lawan Swedia, sementara Brasil menang dua kali beruntun lawan Swedia dan Spanyol.

Pertemuan final pun terjadi di Estadio do Maracana, Rio de Janeiro, antara Brasil melawan Uruguay.

Tim tuan rumah dan melaju ke final, sudah dapat dibayangkan bagaimana atmosfer - serta build up - final. Masyarakat Brasil sudah sangat yakin tim mereka juara dan sebanyak 200.000 fans memadati stadion, membanjiri jalanan Ibu Kota.

Media setempat sudah membuat cetakan edisi khusus dengan judul "Champions of the World" atau "Juara Dunia", bahkan sudah ada band samba berdiri di sisi lapangan bersiap menyanyikan lagu baru kala Brasil juara.

Dengan fakta Brasil mencetak 13 gol di dua laga sebelum melawan Uruguay, wajar jika fans melihat Uruguay akan jadi korban lainnya untuk Augusto dkk. Kemenangan pun jadi harga mati karena Pemerintah setempat berharap sepak bola dapat menyatukan negara dan juga Brasil dikenang sebagai kekuatan internasional.

"Suasana yang fantastis. Pendukung mereka melompat kegirangan seolah-olah mereka sudah memenangkan Piala Dunia," kenang Alcides Ghiggia, winger timnas Uruguay kala itu.

"Semua orang mengatakan mereka akan mengalahkan kami tiga atau empat kosong. Saya mencoba untuk tidak melihat ke arah penonton dan hanya melanjutkan pertandingan."

Atmosfer final benar-benar menguji mental Uruguay dan lapangan terlebih dahulu dibersihkan dari taburan bunga dari fans sebelum dimulai. Laga dimulai dan selama 45 menit pertama kedua tim menciptakan peluang, tetapi laga berakhir imbang tanpa gol di paruh pertama.

Memasuki babak kedua dan baru berjalan dua menit, Brasil unggul dari gol Albino Friaca Cardoso. Gol itu semakin membuat fans yakin Brasil akan jadi juara dunia untuk kali pertama, tetapi laga belum berakhir dan Uruguay tidak menyerah begitu saja.

"Kapten kami berkata, 'Lihat rekan-rekan, kami harus melakukannya', jadi kami mulai menyerang, menyerang, menyerang," tambah Ghiggia.

Momen comeback itu pun terjadi dengan gol penyama kedudukan di menit 66 yang dicetak Juan Alberto Schiaffino, ketika menerima umpan silang dari Ghiggia. Momentum ada di tangan Uruguay.

11 menit sebelum laga bubar Ghiggia mencetak gol yang membalikkan keunggulan. Dengan insting yang dimilikinya, Ghiggia melepaskan tendangan dari sudut sempit dan berbuah gol yang tidak dapat ditepis Moacir Barbosa.

Hening bak kuburan. Itulah yang terjadi di Maracana, dari suasana riuh seolah Brasil sudah jadi juara menjadi keheningan yang digambarkan Joao Luiz de Albuquerque bak ada berita duka. Albuquerque menonton final itu pada usia 11 tahun, anak sekolah.

"Rasanya seperti pergi ke rumah teman yang ayah atau ibunya sudah meninggal. Itu momen untuk menyemangati tim kami, tapi kami malah diam saja," ucap Albuquerque seperti dilansir dari BBC Sport.

"Tiga orang telah membungkam Maracana - Frank Sinatra, Paus dan saya," imbuh Ghiggia.

Pasca peluit panjang berbunyi tragedi Maracazano terjadi. Tangisan pecah: tangis sedih kekecewaan fans Brasil dan para pemain, di kubu berbeda tangis haru atas keberhasilan Uruguay jadi juara dunia di tanah Brasil.

"Saya ingat kami tidak bergerak selama 10 atau 15 menit. Saya tidak ingat Piala Dunia keluar atau apa. Saya hanya berpikir hal terburuk di dunia telah terjadi pada saya," tutur Albuquerque.

Dampaknya sangat besar untuk Brasil. Banyak bar dan restoran tutup seharian di Rio de Janeiro karena mereka tidak sedang dalam mood bagus setelah kekalahan tersebut. "Drama, Tragedi, dan Lelucon." Demikian headline surat kabar di Brasil.

Bahkan legenda sepak bola Brasil yang saat itu belum tenar namanya, Pele, mendengarkan kekalahan itu di radio di rumahnya selalu mengingatnya karena di momen itu ia melihat ayahnya menangis.

"Sepak bola seharusnya menjadi ekspresi hebat dari sisi Brasil," kata Alex Bellos, penulis Futebol: the Brazilian Way of Life. "Kekalahan itu memperkuat perasaan bahwa sebenarnya orang Brasil ditakdirkan untuk gagal di ujung dunia."

Pada akhirnya jauh setelahnya Brasil memang memenangi Piala Dunia lima kali, tetapi ketika mengungkit Maracana dan final melawan Uruguay, sebisa mungkin mereka tak ingin lagi melawan Uruguay di tempat yang sama.

Sebagai pengingat dari laga final tersebut, berikut susunan pemain kedua tim:

Brasil (2-3-4-1): Moacir Barbosa; Juvenal, Augusto; Bigode, Danilo, Bauer; Chico, Jair, Zizinho, Friaca; Ademir

Pelatih: Flavio Costa

Uruguay (2-3-4-1): Roque Maspoli; Matias Gonzalez, Eusebio Tejera; Victor Rodriguez Andrade, Obdulio Varela, Schubert Gambetta; Ruben Moran, Juan Alberto Schiaffino, Julio Perez, Alcide Ghiggia; Oscar Miguez

Pelatih: Juan Lopez Fontana

Piala dunia 2022 Piala Dunia 2022 Qatar Uruguay Timnas Uruguay Brasil Timnas Brasil Nostalgia
Ditulis Oleh

Arief Hadi

Posts

12.138

Bagikan