Rekam Jejak Puing-Puing Reruntuhan BrasilTragedi Mineiraco: Tragedi Terkelam Sepakbola Brasil

BolaSkorBolaSkor - Rabu, 09 Juli 2014
Rekam Jejak Puing-Puing Reruntuhan Brasil<!--idunk-->Tragedi Mineiraco: Tragedi Terkelam Sepakbola Brasil
Rekam Jejak Puing-Puing Reruntuhan BrasilTragedi Mineiraco: Tragedi Terkelam Sepakbola Brasil
Belo Horizonte - Belum pulih dari tragedi "Maracanazo" 64 tahun silam, kemarin Brasil kembali mengalami sebuah tragedi. Yang jauh lebih pahit dan menyesakkan dada dari Maracanazo. 8 Juli akan diingat oleh rakyat Brasil sebagai tragedi "Mineiraco". Tanggal 8 Juli 2014 akan menjadi hari berkabung nasional bagi sepakbola Brasil. 8 Juli 2014 adalah tragedi pembantaian yang dilakukan oleh Jerman kepada Brasil dalam semifinal Piala Dunia yang berakhir dengan skor 1-7 di stadion Mineirao kota Belo Horizonte. Atau singkat kata meminjam istilah media massa Brasil, tragedi "Mineiraco". Sedangkan tragedi "Maracanazo" adalah istilah publik Brasil untuk kekalahan menyesakkan 1-2 dari Uruguay di final Piala Dunia Brasil 1950 yang berlangsung di stadion Maracana. Tragedi yang sudah menyisakan kepedihan selama 64 tahun namun belum juga pulih 100 persen. Tragedi yang diniatkan dibayar tuntas pada Piala Dunia kali ini dengan menjadi pemenang di Estadio Maracana pada tanggal 13 Juli mendatang. Tapi apa daya. Impian berubah menjadi bumerang. Tekad berubah menjadi luka. Harapan berubah menjadi pembunuh terkejam. Optimisme menjadi pesimisme. Dukungan berubah menjadi hujatan. Pujian berubah menjadi cacian. Sorakan kegembiraan berubah menjadi orkestra massal nyanyian lagu "boo-ing". Senyuman berubah menjadi tangisan terisak-isak. Pertandingan semalam tidak hanya menyisakan kepedihan mendalam bagi rakyat Brasil. 100 tahun pun mungkin belum cukup bagi rakyat Brasil untuk melupakan tragedi "Mineiraco", sebab 64 tahun saja belum cukup untuk melupakan tragedi "Maracanazo". Tidak hanya penyesalan, tangisan ataupun penderitaan, tapi tragedi "Mineiraco" juga meninggalkan keheranan dan tanda tanya besar. Apa yang terjadi dengan Brasil semalam? Apa kesalahan utama Brasil dalam pertandingan itu, baik secara teknis maupun mental? Siapa yang menjadi biang keladi penyebab katastropi itu? Pertanyaan-pertanyaan yang langsung bermunculan dan memicu penulis untuk mencoba memberikan jawaban dari hasil pemikiran pasca tragedi "Mineiraco" Yang terjadi dengan Brasil adalah kesalahan dalam gaya main dan ketidaksiapan mental. Dua kombinasi kelemahan ini bertemu dengan Jerman, tim spesialis turnamen yang mematikan dan sudah teruji baik secara mental maupun permainan. Celaka 12 lah bagi Brasil.Kombinasi ini sudah terlihat sejak sebelum pertandingan dimulai. Kehilangan sang kapten, Thiago Silva yang mendapat akumulasi kartu kuning akibat kartu kuning konyol bin tidak penting saat melawan Kolombia serta tanpa sang bintang kejora, Neymar yang absen akibat cedera tulang belakang, jelas menjadi sebuah pukulan telak secara mental bagi anak-anak Selecao. Maklum, Silva adalah roh lini pertahanan Brasil. Jika harus memilih, Brasil lebih baik kehilangan David Luiz ketimbang Thiago Silva. Lima pertandingan, Silva mencatat delapan kali blok, unggul jauh dari David Luiz yang sudah memainkan enam pertandingan tapi hanya mencatat tiga blok. Memang, jumlah intersep David Luiz lebih banyak ketimbang Silva, yakni 13 berbanding delapan. Tapi jumlah clearance Thaigo Silva lebih banyak daripada David Luiz meski kalah satu jumlah pertandingan, yakni 46 kali berbanding dengan 37 kali. Total presentase kemenangan duel pun Silva lebih unggul dari David Luiz dengan 61,11 % berbanding 56,06%. Sudah tahu kehilangan Silva, roh lini belakang sekaligus kapten, tetapi Scolari masih mencoba bermain menyerang sejak awal pertandingan. Celakanya lagi, lini depan Selecao tumpul bagai macan ompong akibat absennya Neymar. Brasil pun masuk ke dalam perangkap Jerman yang mengandalkan serangan balik cepat dan menumpuk pemain di lini tengah untuk menekan gelandang-gelandang Brasil. Bukan hanya sekedar mencetak empat gol, Neymar adalah lebih dari sekedar mesin pencetak gol Brasil di Piala Dunia. Sama seperti Silva, Neymar adalah nyawa penyerangan Brasil. Pengatur serangan, pengalih perhatian, dan mesin pencetak gol. Sama halnya seperti Portugal dengan Ronaldosentrisnya, Brasil menganut paham Neymarisme dalam menyerang di Piala Dunia. Ini bukan pujian berlebihan, tetapi berdasarkan statistik, Neymar selalu menjadi nomor satu dalam statistik penyerangan Brasil di Piala Dunia kali ini alias menjadi yang tertinggi jia dibandingkan barisan penyerang Brasil lainnya! Lima kali bermain, Neymar mencatat empat gol dari total 18 tembakan dengan akurasi 64 %, terbanyak dan memiliki akurasi paling baik. Melakukan 155 kali passing, Neymar sukses menghasilkan 121 kali passing berhasil dengan akurasi 78 %, lagi-lagi menjadi yang terbaik. Neymar juga menciptakan 13 kali peluang mencetak gol bagi Brasil, 12 key-passes, dan dilanggar sebanyak 18 kali. Nilai skor total menyerang Neymar pun menjadi yang tertinggi dengan 219,50 poin. Terbanyak, tertinggi dan terbaik dari 23 pemain Selecao di Brasil 2014. Tanpa Neymar, Brasil benar-benar tak berdaya melawan Jerman. Kehilangan dua nyawa tim jelas menggoyahkan mental para awak Selecao lainnya, yang dicoba untuk dikuatkan kembali dengan aksi David Luiz membentangkan kaus Neymar saat berbaris jelang pertandingan dimulai. Sebuah tindakan yang mulia tetapi tidak memberikan efek nyata kepada 11 pemain starting line-up pilihan pelatih Luiz Felipe Scolari. Pemilihan strategi dan starting line-up pun menjadi dosa Brasil berikutnya yang ditanggung oleh Luiz Felipe Scolari. Bermain tanpa otak serangan dan nukleus pertahanan melawan tim sekelas Jerman seharusnya membuat Scolari sadar, satu-satunya opsi yang paling realistis adalah bermain lebih bertahan. Duet David Luiz-Dante di jantung pertahanan seharusnya dilapisi dengan dua gelandang bertahan yang lebih fokus bertahan. Fernandinho yang diturunkan sebagai gelandang bertahan bersama Luiz Gustavo, lebih berat ke penyerangan dan meninggalkan Luiz Gustavo sendirian dikepung oleh lima gelandang Jerman. Skill bertahan Paulinho jauh lebih baik ketimbang Fernandinho dan sudah teruji di pertandingan-pertandingan sebelumnya. Pemilihan 23 pemain pun menjadi awal mula penyebab kesalahan pemilihan pemain di pertandingan ini. Scolari tidak mempunyai back-up plan yang solid. Absennya Dani Alves yang mengalami cedera diganti oleh Maicon, bek sayap berusia 33 tahun tapi sudah bermain seperti orang jompo. Padahal Brasil masih memiliki stok bek kanan handal macam Rafinha (Bayern Muenchen), atau Jonathan (Inter Milan) yang jauh lebih muda dan bugar daripada Maicon. Gol cepat Thomas Mueller di menit ke-11 yang lahir dari kelengahan pertahanan Brasil saat situasi sepak pojok menjadi pemicu munculnya efek ketidaksiapan mental anak-anak Brasil akibat absennya Thiago Silva dan Neymar. Empat pilar pertahanan Brasil menjadi yang paling mencolok untuk menunjukkan kepanikan dan bermain kehilangan arah pasca gol Mueller. Kepanikan David Luiz, Dante, Marcelo dan Maicon berbuah kesalahan-kesalahan tidak penting seperti seorang pemain amatir, yang menghasilkan empat gol mudah bagi Jerman dalam tempo enam menit di babak pertama. Peluru-peluru meriam dari tank Jerman pun sukses menginjak-injak harga diri Brasil. Cerita Brasil di Piala Dunia ini pun sudah berakhir saat Sami Khedira menciptakan gol di menit ke-29. Skor akhir 7-1 pun menjadi sebuah tragedi yang sangat mengiris hati, bukan hanya bagi pendukung Brasil tetapi juga publik sepakbola. Betapa tidak, juara dunia lima kali, pengusung sepakbola indah Jogo Bonito dan sudah identik dengan kiblat sepakbola tetapi dipermalukan layaknya seorang pemain amatiran. Tragedi "Mineiraco" jelas lebih perih ketimbang tragedi "Marcanazo". Tapi mungkin, inilah yang dibutuhkan oleh Brasil untuk kembali bangkit dari hibernasinya semenjak juara di Jepang-Korea Selatan 2002 silam, dimana Brasil gagal sekalipun menembus semifinal di Jerman 2006, dan Afrika Selatan 2010. Satu hal yang unik terjadi pascar tragedi "Maracanazo" adalah Brazil mendapatkan berkah berupa bocah ajaib bernama Edson Arantes do Nascimento di Piala Dunia Chili 1958. Menurut cerita, keajaiban bocah tersebut muncul usai melihat sang ayah menangis tersedu-sedu akibat tragedi "Maracanazo". Sang bocah pun bertekad, untuk berlatih keras demi membawa Brasil juara dunia demi menghindari tangisan sang ayah terulang kembali. Tekad bocah yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pele itu pun berbuah tiga gelar juara dunia (Swedia 1958, Chili 1962, dan Meksiko 1970) bagi Brasil. Tekad yang berasal dari kepedihan tragedi "Maracanazo" 64 tahun silam. So, akankah sejarah ini berulang pasca tragedi "Mineiraco" 8 Juli 2014 kemarin? Jawabannya bisa kita lihat bersama di Piala Dunia Rusia 2018 mendatang.
Luiz felipe scolari Silva Piala Dunia Tragedi Mineiraco Thiago silva Mineiraco Selecao Pele Brasil Tragedi maracanazo Neymar David Luiz Brasil 2014 Maracanazo
Ditulis Oleh

BolaSkor

Admin Bolaskor.com.
Posts

11.185

Bagikan