Teka-teki Taktik Pep Guardiola Singkirkan Manchester City

Yusuf AbdillahYusuf Abdillah - Minggu, 16 Agustus 2020
Teka-teki Taktik Pep Guardiola Singkirkan Manchester City
Pep Guardiola (twitter)

BolaSkor.com - Manchester City lagi-lagi gagal menembus semifinal Liga Champions. Kali ini mereka disingkirkan tim yang di atas kertas akan mudah dilibas City, Olympique Lyon. Man City dibekuk oleh Olympique Lyon, tim peringkat ketujuh Ligue 1 dengan skor 1-3 di Stadion Jose Alvalade, Lisbon, Portugal, Minggu (16/8) dini hari WIB.

Menghadapi tim papan tengah yang menelan 10 kekalahan di Ligue 1 musim lalu tentu sejatinya bukan tantangan sulit bagi Manchester City. Jika Manchester City tampil seperti yang biasa mereka lakukan, kemungkinan besar hasil akhir akan berbeda. Tampil seperti biasa menjadi kalimat kunci.

Tapi yang dilakukan manajer City Pep Guardiola adalah tampil dengan formasi dan sistem yang tidak biasa dimainkan. Guardiola memutuskan bermain dengan tiga bek tengah dan dua bek sayap. Ya, Guardiola menurunkan lima pemain bertahan meski dua bek sayap dimaksudkan lebih untuk membantu serangan.

Baca juga:

Manchester City 1-3 Olympique Lyon: Mimpi Juara The Citizens Kembali Terkubur

Runtuhnya Era Tim Inggris dan Spanyol di Liga Champions

Sedangkan di sentral lapangan, Guardiola menempatkan Rodri dan Ilkay Gundogan, pilihan yang memberi kesan bahwa Guardiola fokus menjaga keseimbangan timnya, khususnya dalam bertahan. Masuk akal karena selama ini pertahanan City memang tidak cukup solid.

Akan tetapi dengan stok pemain yang memiliki naluri serang tinggi, City sejatinya akan lebih moncer jika tidak terlalu fokus pada menyolidkan pertahanan. Terlebih Lyon bukanlah tim dengan barisan serang menakutkan. Bayangkan, City memiliki David Silva, Bernardo Silva, Phil Foden, dan Riyad Mahrez di bangku cadangan.

Tidak heran jika banyak pengamat yang menilai Guardiola berpikir terlalu dalam untuk menghadapi laga ini. Entah karena tekanan untuk melewati tembok yang selama ini menghalanginya menuju semifinal atau tuntutan meraih trofi?

Man City baru terlihat hidup pada babak kedua, khususnya setelah Guardiola memutuskan untuk meninggalkan pola 3-5-2 dan kembali ke sistem yang biasa dimainkan. Namun tetap saja meski banyak menguasai bola, City tetap tertinggal karena pendekatan konservatif yang diambil Guardiola. Kewajiban mengejar ketertinggalan berimbas makin tereksposenya kerapuhan pertahanan yang sejak awal ingin ditutupi Guardiola.

Baca juga:

Runtuhnya Era Tim Inggris dan Spanyol di Liga Champions

Repetitif Catatan Minor Pep Guardiola di Liga Champions

Guardiola mengatakan, suatu hari City akan lolos ke semifinal Liga Champions. Ya, Guardiola dan Manchester City suatu hari pasti akan mencoba memenangkan Liga Champions dengan cara mereka sendiri, memprioritaskan sepak bola yang mengalir bebas dan ekspansif yang membanjiri lawan yang lebih lemah.

Kebutuhan untuk melakukan sesuatu yang berbeda melawan tim yang lebih baik di panggung terbesar tampaknya menjadi pemikiran yang menguras Guardiola setiap tahun. Sebuah hal yang tidak perlu mengingat Guardiola memiliki tim dahsyat saat tampil seperti biasanya.

Sejak Chelsea merampok timnya Barcelona dalam perjalanan untuk memenangkan mahkota 2012, Guardiola telah goyah di bawah ekspektasi berat untuk memberikan trofi Liga Champions. Ekspektasi yang meningkat oleh supremasi domestik yang dia nikmati di Bayern Munich dan City.

Peringatan datang dalam bentuk dua pertandingan penyisihan grup dengan Lyon musim lalu, ketika tim Ligue 1 menang di Stadion Etihad dan imgang saat tandang berkat gol penyama Sergio Aguero. Kala itu Lyon menumpuk pemain di jatung pertahanan dan melakukan serangan balik dengan efek yang menghancurkan.

Maxwel Cornet mencetak gol di kedua pertandingan dan pada laga kali ini dia mencetak gol pembuka memanfaatkan kesalahan posisi Kyle Walker. Bek Inggris itu menjadi pemain terbaik saat melawan Real Madrid, tapi pada laga ini Walker seperti anak ayam kehilangan induk. Dia terlihat bingung antara memainkan permainan aslinya atau apa yang diminta Guardiola. Kebingungan tidak hanya telihat pada diri Walker.

Baru pada 11 menit setelah babak kedua dimulai, Guardiola akhirnya memutuskan untuk meninggalkan strategi yang dipilih untuk menyesuaikan sistem Lyon. Rasanya aneh melihat City kehilangan kreativitas, tetapi di babak pertama Ctiy baru bisa mengancam karena serangan sporadis Raheem Sterling dan satu umpan ajaib De Bruyne.

Masuknya Riyad Mahrez membuat City hampir kembali ke bentuk permainan biasanya. Mereka perlahan-lahan ganti gigi, meskipun tanpa mencapai kecepatan tertinggi. Lyon mulai lelah, De Bruyne semakin berpengaruh dan gol penyeimbang datang.

Tapi ketika tampaknya gol kedua City tak terhindarkan, mereka meledak. Garcia kehilangan penguasaan bola dengan harga murah, Houssem Aouar dengan cepat melepaskan pemain pengganti Moussa Dembele tapi hanya setelah Ekambi membiarkan bola melewati kakinya dari posisi offside.

Langkah awal yang tidak mulus membuat permainan City tidak terarah. Ketika mulai menemukan arah, kesalahan individu makin menjadi. Hanya 59 detik sebelum Dembele mencetak gol, entah bagaimana Sterling melewatkan peluang platinum.

Manajer tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan individu. Manajer harus, bagaimanapun, dimintai pertanggungjawaban dalam hal performa, di mana dampak dari kesalahan tidak dikurangi dengan menciptakan banyak peluang. Hal ini patut menjadi pertanyaan, terutama bagi tim yang biasanya sekreatif City.

Sekali lagi, City gagal di babak perempat final, penghalang yang menjadi tembok psikologis. Liga Champions tetap hanya menjadi angan-angan bagi City dan manajer mereka.

Bagi Guardiola, perburuan berlangsung selama sembilan tahun. Hampir selalu Guardiola mencoba menghadirkan yang beda dari biasanya. Musim lalu ketika disingkirkan Tottenham Hotspur, dia terlalu defensif di leg pertama. Lalu sebelumnya memilih memadatkan lini tengah saat melawan Liverpool, dan hal serupa terjadi ketika memimpin Bayern. Di Barca, man-to-man marking Barcelona atau memilih serangan habis-habisan melawan Real Madrid.

Rasanya sulit untuk mempertanyakan Guardiola, dengan semua yang telah dia capai. Tetapi semua kegagalan bisa diambil benang merahnya. Benang merah yang terlalu kentara untuk tidak memicu kritik.

Guardiola pernah mengatakan, kekalahan 0-4 dari Real Madrid pada April 2014 adalah momen saat dia sebagai pelatih melakukan kesalahan terbesar sepanjang kariernya.

Mengingat Lyon finis terendah di Ligue 1 dalam 23 tahun dan sudah tidak merasakan kompetisi selama lima bulan hingga pekan lalu, kekalahan City di perempat final rasanya bisa menggantikan kekalahan 0-4 dari Real Madrid sebagai kesalahan terbesar dalam karier Guardiola.

Analisis Liga Champions Pep Guardiola
Ditulis Oleh

Yusuf Abdillah

Posts

6.100

Bagikan